NAFQAH

Juli 4, 2007 at 9:22 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Hikmah, Renungan, Tafsir Al Quran)

Apa arti kata nafqah? Siapa yang seharusnya diberi nafqah? Bagaimana urut-urutan prioritas penerima nafqah?

Nafqah artinya memberikan belanja untuk keperluan hidup. Kewajiban untuk menafqahi dan siapa saja yang dinafqahi terurai dengan cukup rinci sebagaimana hadits-hadits berikut:

Thariq al Muharibi menceritakan, Kami tiba di Madinah pada saat Rasulullah saw berdiri di atas mimbar sedang berkhutbah kepada orang banyak. Beliau bersabda, ’Tangan pemberi lebih mulia dan mulailah terhadap orang yang menjadi tanggungannya itu, ibumu, ayahmu, saudara perempuan dan saudara lelaki, kemudian orang yang terdekat denganmu, lalu orang yang dekat denganmu (kekerabatannya) (R. An Nasai)

Pernah ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw lalu berkata,’Wahai Rasulallah, saya mempunyai satu dinar’. Beliau menjawab,’Belanjakanlah untuk dirimu’. Lelaki itu berkata lagi,’Saya mempunyai satu dinar lainnya’. Rasulullah menjawab,’Belanjakanlah untuk anak-anakmu’. Lelaki itu berkata lagi,’Saya mempunyai satu dinar lagi’. Beliau menjawab,’Belanjakanlah untuk keluargamu (isterimu)’. Lelaki itu berkata lagi,’Saya mempunyai satu dinar lainnya’. Beliau menjawab,’Belanjakanlah untuk pelayanmu’. Lelaki itu berkata lagi,’Saya mempunyai satu dinar lainnya’ Beliau menjawab,’Kamu lebih mengetahui (itu terserah kepadamu)” (R.Abu Dawud). Ada riwayat lain yang menyebutkan isteri lebih dahulu daripada anak.

Dari dua hadits di atas dapat disimpulkan bahwa suami berkewajiban memberi nafkah kepada keluarganya, dengan urutan : Anak atau isteri, budak, ibu, ayah, saudara perempuan, saudara laki-laki, lalu terserah siapa yang terdekat menurut kita.

Pada kenyataannya adakalanya seorang suami enggan menafkahi isterinya secara cukup, walaupun sang suami berada dalam kecukupan. Pada kondisi seperti ini Rasulullah saw membolehkan sang isteri untuk menggunakan harta suaminya tanpa sepengetahuan suaminya secara makruf. Sebagaimana diceritakan dalam hadits berikut: Siti Aisyah menceritakan bahwa Hindun (isteri Abu Sufyan) masuk menemui Rasulullah saw, lalu berkata,’Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir. Dia tidak mau memberikan belanja yang cukup untuk diriku dan anak-anakku, kecuali jika kuambil dari sebagian hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah perbuatanku itu berdosa? Rasulullah saw mwnjawab,’Ambillah dari hartanya secara makruf untuk memenuhi kebutuhanmu dan anak-anakmu (Bukhari-Muslim)

Berbeda halnya ketika sang suami sendiri berada dalam ketidakmampuan, maka suaminya berkwajiban menafkahi sesuai dengan kemampuannya. Hal ini sesuai dengan hadits berikut: Wahai Rasulullah, apakah hak seseorang dari kami yang menjadi suami? Rasulullah saw menjawab,’Kamu memberi makan isterimu jika kamu makan, kamu beri pakaian jika kamu berpakaian, dan janganlah kamu memukul wajahnya, jangan memburuk-burukkannya, dan janganlah mendiamkannya kecuali dalam lingkungan rumah (R. Ahmad, Abu Dawud, Nasai, dan Ibn Majah). Kondisi ini tidak berarti membolehkan suami untuk tidak berusaha serius dalam memenuhi nafkah keluarga, tetapi merupakan suatu kondisi yang terpaksa -sang suami berusaha secara optimal, namun belum memberikan hasil yang maksimal-

Memberi nafkah merupakan kewajiban sang suami, sesuai dengan kemampuan suaminya. Pemberian nafkah dilakukan sebagaimana rasulullah saw mencontohkannya, mulai dari keluarga yang menjadi tanggungan kita, selanjutnya kepada kerabat dekat berikutnya. Karena tangan yang di atas lebih baik, maka selayaknya kita berupaya menjadi pemberi nafkah bagi saudara kita yang lain!

Dimuat pada Buletin Jumat HANIF, Jumat ke-3 September 2005

 

Tinggalkan komentar