HAWARIY

Juli 12, 2007 at 9:27 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)

Apa arti al Hawariyyun? Apa jawaban Al Hawariyyun ketika diajak untuk membela agama Allah? Bagaimanakah aktivitas mereka?

Hawary berarti pembela atau pengikut setia. Kata hawary tidak ditemui dalam Al Qur’an, tetapi bentuk jamaknya Al Hawariyyun disebut sebanyak 3 kali, yaitu dalam surat Ali Imran/3:52, Al Maidah/5:112, dan Ash-Shaf/61:14 . Al Hawariyyin disebut sebanyak 2 kali, yaitu dalam surat Al Maidah/5:111 dan Ash-Shaf/61:14.

Berikut ini penggunaan kata Al Hawariyyun/Al Hawariyyin dalam Al Qur’an:

Ali Imran/3 :52
Maka tatkala ‘Isa mengetahui keingkaran mereka berkatalah dia,’Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah? Al Hawariyyun menjawab,’Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah ; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri’.

Dari ayat di atas dapat dilihat kesetiaan dan kesiapan al hawariyyun untuk menjadi penolong-penolong agama Allah. Pertolongan dalam pembelaan agama Allah diberikan bukan hanya ketika pembawa risalah kenaran berada dalam keadaan senang, tetapi juga ketika pembawa kebenaran itu berada dalam keadaan yang terdesak oleh musuh-musuhnya.

Al Maidah/5:111
Dan (ingtlah) ketika awhaiytu (Aku wahyukan/ilhamkan) kepada Al Hawariyyin,’Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku’. Mereka menjawab,’Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)’.

Adanya penggunaan kata awhaiytu (Aku ilhamkan) memungkinkan al hawariyyun mempunyai pengetahuan yang diperoleh secara instuitif. Artinya tanpa proses belajar sebagaimana yang dialami manusia pada umumnya.

Al Maidah/5:112 – 113
Ingatlah ketika Al Hawariyyun berkata,’Hai ‘Isa putera Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’. Isa menjawab,’Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang bersyukur’. Mereka berkata,’Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami (tathmainna qulubuna) dan supaya kami mengetahui bahwa kamu berkata benar kepada kami dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan (hidangan) itu’

Pada ayat di atas terdapat kata tathmainna qulubuna yang berarti agar hati kami menjadi tenang. Kalimat yang relatif sama juga digunakan oleh nabi Ibrahim ketika nabi Ibrahim ingin mengetahui,’Bagaimana Allah menghidupkan sesuatu yang mati?’ Lalu Allah bertanya,’Apakah kamu tidak percaya?’. Ibrahim menjawab,’Sekali-kali tidak, akan tetapi liyathmainna qalby (agar hati kami menjadi tenang)’(Kisah lengkap peristiwa ini terdapat dalam surat Al Baqarah/2: 261). Melalui dua kejadian (Al Hawariyyun dan nabi Ibrahim) sangat tepat kiranya jika setiap pengikut setia kebenaran merasakan sesuatu yang menyebabkannya liyathmainna qalby sebagai bekal untuk menjadi pembela kebenaran. Hal ini akan diperoleh jika seseorang mengalami secara langsung (pengalaman keagamaan) bukan hanya sekedar sebuah informasi. Sebagai contoh jika Anda seorang yang suka berinfak, pastikanlah bahwa Anda merasakan kenyamanan dalam berinfak.

Tampaknya sudah menjadi sunnah Allah bahwa dalam sebuah perjuangan penegakan kebenaran selalu diperlukan adanya al hawariyyun. Ketika Rasulullah saw terjepit mengembangkan dakwahnya di Makkah Beliau berkata,’Adakah orang yang akan menolongku sehingga aku dapat menyampaikan risalah Tuhanku karena orang Quraisy telah menghalangi jalanku untuk menyampaikan risalah Tuhanku’(lihat tafsir Ibn Katsir). Pernyataan rasulullah ini ternyata terealisasi dengan bergabungnya suku ‘Aus dan Khazraj dalam pangkuan Islam. Kemudian mereka yang menolong Rasulullah pada peristiwa hijrah disebut sebagai kaum Anshar. Sebagai sosok pembawa risalah dakwah, rasulullah saw pernah mengungkapkan hawarynya,’Setiap rasul itu mempunyai hawary dan hawaryku adalah Zubair bin Awwam”(salah satu dari 10 orang yang dijamin penghuni surga)


Tampaknya sudah menjadi sunnah Allah bahwa dalam sebuah perjuangan penegakan kebenaran selalu diperlukan adanya al hawariyyun !


Permalink 2 Komentar

ASHHABUL KAHFI

Juli 12, 2007 at 9:23 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)

Melihat kemungkaran yang semakin ramai ditengah masarakat kita apakah sebaiknya menjauh dari kehidupan masyarakat dan tinggal ditengah hutan? Apa saja rahmat yang diperoleh ashabul kahfi?

Ashhabul kahfi artinya penghuni gua. Kata ini hanya digunakan sekali dalam Al Qur’an yaitu dalam surat Al Kahfi/18:9,”Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang menghuni gua (Ashabul kahfi) dan (yang mempunyai) raqim itu termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?”

Secara singkat dapat diceritakan bahwa ashabul kahfi adalah sekelompok pemuda yang beriman kepada Allah. Mereka berkeyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tempat mengabdi.

Mereka menjauhi kaumnya yang kafir dan dzalim dan berupaya memurtadkan mereka.Prilaku meninggalkan kaumnya ini dibenarkan oleh Allah. Namun saat ini meninggalkan mad’u secara fisik tampaknya merupakan tindakan yang kurang tepat dengan pertimbangan-pertimbangan berikut ini:


Adanya perintah menyampaikan amanat (risalah dakwah)
”Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”(Al Maidah/5:67)


Adanya anjuran berinteraksi
“Orang-orang mukmin yang hidup ditengah-tengah manusia dan bersabar atas tindakan mereka lebih besar pahalanyadariopada orang mukmin yang tidak hidup ditengah-tengah mereka dan tidak bersabar atas tindakan mereka”(Riwayat Ibnu Majah)

Di dalam gua yang menjadi tempat perlindungannya mereka berdo’a,’Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petinjuk yang lurus dalam urusan kami(ini)’ Allah mengabulkan do’a para pemuda ini dengan mengaruniai mereka:

  • Petunjuk tentang adanya gua yang memungkinkan menjadi tempat berlindung
  • Menjauhkan mereka dari gangguan kaumnya yang musyrik
  • Memberikan kemudahan ketika berada di dalam gua. (Munculnya rasa takut dari orang-orang yang melihat mereka, adanya anjing yang menyertai mereka, dan terik matahari yang tidak memanasi tubuh mereka)
  • Allah menidurkan mereka dalam maktu tigaratus sembilan tahun,. Setelah mereka terbangun, gener4asi kaum mereka yang kafir sudah berganti dengan kaum yang beriman.


Tentang jumlah pemuda dalam gua itu mayoritas ulama cenderung lebih sepakat mengatakan jumlahnya 7 orang. Hal ini dilihat dari konteks kalimat yang digunakan dalam Al Qur’an.


“Nanti (akan ada orang yang) mengatakan jumlah mereka adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan yang lain mengatakan ‘jumlah mereka adalah lima orang dan yang keenam adalah anjingnya’ sebagai terkaan terhadap barang yang ghaib; dan yang lain lagi mengatakan ‘(jumlah mereka) tujuh orang dan yang kedelapan adalah anjingnya’. Katakanlah,’Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada yang mengetahui (jumlah mereka) kecuali sedikit.”(Al Kahfi/18:22). Pernyataan yang menyatakan jumlah mereeka 3 orang dan yang mengatakan jumlah mereka 5 orang dikatakan Allah sebagai terkaan terhadap barang yang ghaib, sementara setelah ayat yang mengatakan jumlah mereka tujuh orang Allah mengatakan bahwa Dia lebih mengetahui jumlah mereka.

Terlepas dari berapa jumlah pemuda itu, yang lebih menarik diamati adalah keberadaan pemuda beriman yang berada dalam gua itu, bukannya anak-anak atau orang dewasa. Dari kisah ini kita dapat belajar peran pemuda dalam dakwah. Dan dari sejarah atau pengalaman-pengalamn kita sendiri-sendiri peran pemuda sebagai agen perubahan selalu saja terjadi. Masih segar dalam ingatan kita runtuhnya ordebaru di negara kita yang melibatkan peran pemuda(mahasiswa) didalamnya.

Pekerjaan rumah untuk pemuda Islam khususnya, apa peran kita dalam menciptakan masarakat yang dilandasi nilai-nilai syariat?

Permalink 7 Komentar

MUNKAR

Juli 12, 2007 at 9:17 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Tafsir Al Quran)

Apa yang dimaksud dengan munkar? Perbuatan apa saja yang tergolong tindakan munkar? Bagaimana strategi menghadapi kemungkaran?

Munkar secara bahasa berarti sesuatu yang tidak dikenal. Arti secara bahasa ini digunakan Al Qur’an dalam surat Adz Dzariyat/51:25’(ingatlah) ketika merekamalaikat—masuk ke tempatnya – Ibrahim – lalu mengucapkan Salaamun. Ibrahim menjawab,’Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal’

Kata munkar disebut Al Qur’an tidak kurang dari 18 kali, beberapa diantaranya; Ali Imran/3:104, Al Maidah/5:79 dan Al A’raf/7:157. Munkar merupakan lawan dari kata ma’ruf. Jika ma’ruf merupakan sesuatu yang dikenal kebaikannya, munkar merupakan sesuatu yang dikenal kejelekannya.

Munkar tidak hanya berupa perbuatan atau tindakan, tetapi bisa juga berupa perkataan. Setiap perkataan yang menjauhkan diri dari Allah swt adalah perkataan munkar. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (Al Mujadalah/58:2)

Beberapa contoh perbuatan munkar:

Homoseks atau lesbian
Salah satu masalah yang dihadapi nabi Luth adalah merajalelanya homoseks (lesbian) di masyarakatnya. Sehingga beliau berkata kepada kaumnya ”Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki,menyamun, dan mengerjakan kemunkaran ditempat-tempat pertemuan itu?”(Al-Ankabut/29:29)

Berzina
Berzina,yakni melakukan persetubuhan diluar nikah-apalagi memperkosa-adalah perbuatan munkar. Menurut Al-Quran, ketika Maryam sudah menggendong bayi (putranya,Isa putra Maryam)- padahal menurut kaumnya, Maryam tidak punya suami, maka kaumnya menuduh Maryam telah berbuat inkar(zina): ”Hai Maryam,sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat munkar(fariyya)”(Maryam 19/27).

Membunuh
Sebelum Musa as. mengikuti Khidr, sudah diberi syarat oleh Khidr agar Musa tidak mempertanyakan apa yang dilakukan Khidr sebelum diberi penjelasan. Ketika Khidr membocorkan perahu,Musa tidak sabar dan mempertanyakan alasan pembocoran itu kepada Khidr. Begitu juga ketika Khidr membunuh seorang pemuda, Musa berkata,”Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan perbuatan yang munkar(nukra)”(Al-Kahfi/18:74)

Kemunkaran ditandai dengan adanya sikap ”melewati batas”, sebagaimana pernah dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani (Al ankabut/29:45). Kemunkaran itu merugikan orang lain dan diri sendiri. Hati nurani manusia bisa merasakan keberadaan sesuatu yang munkar. Pelaku kemunkaran tidak akan merasakan ketentraman dan ketenangan, karena itu bertentangan dengan nurani dan fitrah manusia. Maka, ”tanyakanlah pada hati nurani !”

Allah memberi resep agar manusia tercegah dari kemunkaran,”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”(Al ankabut/29:45). Hanya saja saat ini banyak dijumpai orang yang melakukan gerakan shalat tapi sekaligus pelaku kemunkaran. Hal ini sebuah isyarat bahwa mutu shalatnya belum sesuai standar yang diinginkan Allah swt. Strategi dalam menyikapi kemunkaran yang diberikan oleh Rasulullah saw adalah: ”Barangsiapa diantara kalian melihat kemunkaran,ubahlah dengan tanganmu; jika tidak mampu, ubahlah dengan lisanmu; dan jika tidak mampu, ubahlah dengan hatimu; yang sedemikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”

Kemunkaran yang dilakukan oleh pribadi-pribadi, bisa dihentikan dengan kekuatan individual. Tetapi kemunkaran yang tersistimatisasi, hanya efektif dihentikan oleh kebijakan-kebijakan politis(kekuasaan). Anda bisa menghentikan beberapa orang yang minum minuman keras, tetapi nyaris suatu kemustahilan menghentikan produksi minuman keras jika tidak ada kebijakan politis yang berupa pelarangan produksi dan pengedaran minuman keras di Masyarakat.

Mencegah kemunkaran merupakan kewajiban setiap muslim. Untuk melaksanakan pencegahan kemunkaran -baik yang individual maupun yang tersisitimatisasi- membutuhkan ”kekuatan”. Mengubah kemunkaran dengan hati – doa atau ”mbatin”- adalah selemah-lemah iman. Sedangkan memberi restu dan menyetujui terlaksananya kemunkaran, silakan pertanyakan adakah keimanan dihati orang yang menyetujuinya?

 

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

NIKMAH

Juli 12, 2007 at 9:09 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Tafsir Al Quran)


Apakah nikmah itu? Siapa yang dimaksud dengan orang yang diberi nikmah yang jalan hidupnya selalu diminta dalam setiap shalat?

Secara bahasa nikmah artinya karunia atau anugerah. Kata nikmah ditemui tidak kurang dari 34 kali dalam Al Qur’an, beberapa diantaranya: Al Baqarah/2:211, Ali Imran/3: 103, dan Al Maidah/5:7. Pengertian tentang nikmah perlu dipahami secara benar karena setiap kali membaca al Fatihah dalam shalat seseorang meminta jalan yang lurus. Dan yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmah, bukannya jalan orang-orang yang dimurkai-Nya dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat (lihat surat al Fatihah/1:6 – 7)

Berikut beberapa konteks penggunaan kata nikmah dalam Al Qur’an:

An Nisa/4:69
‘Dan barang siapa yang mentatai Allah dan Rasul Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmah oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya’

Al Maidah/5: 23
‘Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberikan nikmah atas keduanya,’Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah lah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman’

Ketika Musa as menyerukan kaumnya untuk memasuki Palestina, kaumnya merasa keberatan karena di Palestina ada orang yang gagah perkasa, pada saat itu tampillah dua orang yang telah diberi nikmah oleh Allah tersebut.

Maryam/19:58
‘Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmah oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis’

Al Ahzab/33:37
‘Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang-orang yang telah Allah beri nikmah dan kamu (juga) telah memberi nikmah kepadanya,’Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah’..” Yang disebut telah diberi nikmah dalam ayat ini adalah Zaid bin haritsah. Penyebutan diberi nikmah itu karena Zaid telah mendapat hidayah, seorang muslim, dan menjadi pengikut nabi Muhammad saw (lihat tafsir Ibnu Katsir)

Dari beberapa penjelasan tentang orang yang diberi nikmah oleh ALlah di atas bisa dilihat bahwa nikmah itu tidak identik dengan kenyamanan-kenyamanan duniawi. Sebab ketika melihat kehidupan para nabi, tidak semua mereka hidup dalam keadaan kaya atau menjadi penguasa, hal yang sama juga terjadi pada kehidupan para syuhada. Salah satu contoh tokoh syuhada’ Hamzah misalnya, pada saat wafatnya – waktu peperangan uhud- dadanya dibelah dan hatinya dimakan oleh Hindun. Suatu keadaan kematian yaang secara fisik dilihat kurang menyenangkan, namun Allah swt mengkategorikannya sebagai orang-orang yang Allah telah beri nikmah. Jadi dapat kiranya disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan orang telah diberi nikamah itu adalah orang yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap kebenaran dan upaya penegakannya.

Ketika meminta kepada Allah agar ditunjuki jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmah, berarti kita telah meminta jalan kehidupan para nabi, para syuhada, para shiddiqin dan orang-orang yang shalih. Mari kita sadari apa yang kita minta kepada Allah, dan kita upayakan mewujudkannya. Ya Allah tunjuki kami jalan para nabi, syuhada, shiddiqin, dan orang-orang shalih!

Permalink 6 Komentar

WALIMAH

Juli 12, 2007 at 9:04 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)

 

Apa yang sebaiknya dilakukan pada saat walimah? Siapa yang sebaiknya diundang untuk menghadiri walimah?

Kata walimah sudah cukup popular di masyarakat, walimah merupakan perayaan yang dilakukan pada momen-momen tertentu. Walimah yang dimaksud disini adalah walimah yang dilakukan oleh pengantin setelah melakukan akad nikah. Para ulama memasukkan walimah sebagai suatu yang wajib, hal ini didasarkan atas hadits berikut ini. Tatkala telah selesai meminang Aisyah, Rasulullah saw bersabda,’Untuk satu pengantin (dalam riwayat lain disebutkan sepasang pengantin) harus diadakan walimah’(lihat hadits riwayat Ahmad dan Thabrani)

Pernikahan sebagai momentum yang sacral berkecenderungan dilakukan secara berlebih-lebihan. Berikut ini beberapa penjelasan tentang walimah pada masa rasulullah saw, yang dapat dijadikan panduan dalam melakukan walimah:

Dilaksanakan setelah akad nikah
Diriwayatkan Anas, ia berkata,’Tatkala Rasulullah saw menikahi seorang perempuan, Beliau mengutus saya untuk mengundang orang-orang makan’ (lihat hadits riwayat Bukhari dan Baihaqi). Tentang berapa lama walimah itu dilakukan, Rasulullah saw pernah melakukannya selama tiga hari,’Tatkala Nabi saw menikahi Shafiyyah, Beliau menjadikan pembebasan dirinya sebagai mahar. Beliau mengadakan walimah selama tiga hari’(HR. Abu Ya’la)

Hendaknya mengundang orang-orang shalih (baik miskin ataupun kaya)
Rasulullah saw pernah bersabda,’Bersahabatlah dengan orang-orang mukmin, dan usahakanlah makananmu hanya dimakan oleh orang-orang yang bertakwa’ (HR. Abu Dawud). Hadits ini memberi penjelasan bagaimana seharusnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya.

Ada perayaan walau hanya seekor kambing
Tatkala Abdurrahman bin auf hijrah ke Madinah, Rasulullah saw mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Ar Rabi’ Al Anshari (Saad mengajak Abdurrahman kerumahnya, Saad menyuguhkan makanan lalu keduanyapun makan bersama) Saad berkata,’Wahai saudaraku, saya adalah penduduk Madinah yang paling kaya. Silakan tengok harta-hartaku, lalu ambillah sepruhnya. Aku juga mempunyai dua isteri (sedangkan engkau adalah saudaraku karenaAllah dan engkau belum punya isteri). Siapa diantara keduanya menarik hatimu (katakanlah kepadaku), yang telah engkau pilih itu akan aku cerai, (lalu bila ‘iddahnya sudah selesai silakan engkau nikahi). Abdurrahman menjawab,’(tidak usah begitu, demi Allah) semoga Allah memberkahi isteri dan hartamu. Tunjukkan saja kepadaku pasar’.

Merekapun menunjukkan pasar, lalu Abdurrahman pergi ke pasar. Di sana dia melakukan jual-beli dan mendapatkan keuntungan (selanjutnya dia pergi secara rutin ke pasar). Kadang-kadang dia membawa sedikit keju dan minyak samin (dari sisa dagangannya untuk keluarganya). Hal itu berlangsung lama sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Suatu ketika datang Rasulullah saw dengan pakaian yang penuh dengan noda-noda minyak wangi ja’faran, Rasulullah saw bertanya kepadanya,’Ada apa denganmu?. Abdurrahman menjawab,’Wahai Rasulullah saw, saya telah menikah dengan wanita (Anshar)’ Beliau bertanya,’Apa maskawinnya?’. Dia menjawab,’Emas satu nawat’. Beliau bersabda,’Semoga Allah memberkahi pernikahanmu. Adakanlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing’ Abdurrahman berkata,’Kiranya saya ingin bisa mengangkat batu yang di bawahnya bisa kutemukan (emas dan perak)’(Lihat hadits riwayat Bukhari)

Dalam hadits yang cukup panjang terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil didalamnya. Mulai tentang persaudaraan yang diikat oleh aqidah islamiyah, keutamaan bekerja daripada meminta, kesabaran dalam bekerja, jenis mas kawin dalam pernikahan, dan walimah dalam suatu pernikahan. Saat ini walimah sudah menjadi sesuatu yang biasa dilaksanakan dalam masyarakat, namun didalam pelaksanaannya terdapat banyak pelanggaran norma-norma agama. Pelanggaran dimulai dari tampilnya musik-musik hiburan yang melalaikan dari mengingat Allah, makan sambil berdiri, kemubadziran hidangan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Walimah harus kita lakukan dan norma-norma agama yang lainpun tetap menjadi kewajiban kita untuk menjaganya!

Permalink 1 Komentar

IMAM SHALAT

Juli 12, 2007 at 8:58 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)


Siapakah yang berhak menjadi imam? Apakah makmum mendapatkan dosa jika imam melakukan kesalahan?

Imam (kepemimpinan) di masyarakat menjadi sesuatu yang diperebutkan, para calon pemimpin bersedia mengeluarkan sebagaian hartanya dengan harapan akan terpilih sebagai imam. Keinginan menjadi imam ini akan berkurang, jika mereka melihat beratnya amanah yang harus dipikul seorang imam. Salah satu diantara amanah seorang imam adalah dia akan menjadi teladan dan mengarahkan makmumnya kepada kebaikan sebagaimana dua ayat berikut:

Dan orang-orang yang berkata,’ Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa… (Al Furqan/25:74). Dan Kami jadikan diantara mereka itu imam (pemimpin-pemimpin) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami … (As Sajdah/ :24)

Miniatur imam (kepemimpinan) dalam masyarakat Islam ada dalam konsep imam dalam shalat berjamaah. Beberapa hadits berikut akan memberikan gambaran tentang siapa yang berhak menjadi Imam dan apa keistimewaan yang akan diperolehnya:

Hadits Abu Mas’ud al Anshari ra bahwa ia menuturkan, Rasulullah saw bersabda,’Yang paling berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al Qur’annya. Kalau dalam Al Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang sunnah. Kalau dalam sunnah juga sama, dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah juga sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam.

Apabila datang waktu shalat, hendaknya salah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan dan salah seorang diantara kalian yang paling tua usianya menjadi imam (R. Bukhari)

Dari dua hadits di atas dapat dilihat bahwa prioritas penentuan imam dalam shalat berdasar atas: kebaikan bacaannya, keahlian dibidang hadits, lebih dahulu hijrahnya, lebih dahulu masuk Islamnya, dan usianya. Prioritas ini menjelaskan bahwa orang yang bacaan qur’annya lebih bagus lebih berhak untuk menjadi imam walaupun usianya lebih muda.

Prioritas penentuan Imam di atas perlu mendapat perhatian agar Imam yang ditunjuk tidak sering melakukan kesalahan. Imam yang bacaannya kurang baik (salah) atau kurang faham sunnah, maka berkecenderungan melakukan kesalahan. Dosa karena kesalahan itu akan dipikulnya sendiri dan tidak dipikul makmumnya, sebagaimana hadits berikut: Para imam itu shalat demi kepentingan kalian. Kalau mereka benar, kalian (dan juga mereka) mendapatkan pahala. Tetapi kalau mereka (para imam), kalian tetap mendapatkan pahala sementara mereka mendapatkan dosa (R. Al Bukhari)

Seiring dengan besarnya seorang Imam, Rasulullah saw juga mengistimewakannya dengan cara mendoakannya. Seorang imam (shalat) itu memiliki tanggungjawab. Seorang muadzin itu adalah penjaga amanah. Ya Allah, berikanlah bimbingan kepada para imam tersebut, dan ampunilah dosa-dosa para muadzin itu (R. Abu Dawud) Insyaallah doa Rasulullah saw ini akan terijabahi untuk para Imam yang ikhlash dalam memikul amanah keimaman shalat.

Di kalangan ummat Islam tidak ada perebutan untuk menjadi imam shalat, tetapi masyarakat yang melakukan shalatlah yang menunjuknya menjadi imam. Jika imam shalat tidak diperebutkan, mengapa menjadi imam masyarakat diperebutkan?

Permalink 4 Komentar

SYAFA’AT

Juli 12, 2007 at 8:53 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)


Adakah syafaat untuk orang-orang kafir di akhirat? Siapa yang dapat memperoleh syafaat dan Siapa pula yang dapat memberikannya kelak di akhirat?

Syafaat berarti usaha perantaraan dalam memberikan manfaat bagi orang lain atau mengelakkan suatu mudharat dari orang lain. Kata syafaat disebut sebanyak 11 kali dalam Al Qur’an, beberapa diantaranya terdapat dalam surat: Al Baqarah/2: 48, An Nisak/4:85, dan Maryam/19: 87.

Tentang keberadaan syafaat di akhirat, dikalangan umat Islam terdapat dua pendapat yang saling bersebrangan. Sebagian mereka mengatakan syafaat diakhirat tidak ada, sebagian yang lain mengatakan syafaat itu ada. Mereka yang mengatakan syafaat tidak ada merujuk kepada ayat- ayat berikut:

Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat ketika hati (menyesak) sampai ke kerongkongan dengan menahan kesedihan. Orang-orang yang dzalim tidak mempunyai teman seorangpun dan tidak pula mempunyai pemberi syafaat yang diterima syafaatnya (Al Mukmin/40:18)

Apakah yang memasukkan kamu kedalam (neraka) saqar? Mereka menjawab,’Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan tidak memberi makan orang miskin, dan adalah kami membicarakan yang bathil, bersama dengan orang-orang yang membicarakannya, dan adalah kami mendustakan hari pembalasan, hingga datang kepada kami kematian. Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafaat dari orang-orang yang memberikan syafaat (Al Muddatstsi/74:42-48)

Adapun mereka yang berpendapat bahwa ada syafaat pada hari akhir merujuk kepada ayat-ayat berikut:

Dan sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memberi syafaat; akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat ialah) orang yang mengakui yang haq (tauhid) dan mereka menyakininya (Az Zukhruf/43:86)

Dan tiadalah berguna syafaat disisi Allah melainkan bagi orang-orang yang diizinkanNya memperoleh syafaat itu, sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata,’Apakah yang telah difirmankan oleh Tuhanmu?’ Mereka menjawab ,’(Perkataan) yang benar’. Dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar (Saba’/34:23)

Pendapat kedua tampaknya lebih kuat dari yang pertama, sebab ayat-ayat yang dijadikan rujukan untuk mengatakan syafaat tidak ada adalah syafaat yang ditujukan untuk orang-orang kafir. Artinya benar tidak ada syafaat untuk orang-orang kafir, tetapi pernyataan ini tidak bisa digeneralasasikan berlaku untuk orang-orang beriman. Orang-orang kafir mengaku bahwa tuhan-tuhan yang mereka ibadahi akan memeberi syafaat di sisi Allah (Yunus/10:18), pernyataan ini dibantah oleh Allah swt dalam surat Az Zumar/39:43-44. Bahkan mereka mengambil pemberi syafaat selain Allah. Katakanlah,’Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal? Katakanlah,’Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. KepunyaanNya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepadaNyalah kamu dikembalikan.

Oleh sebab itu tepat kiranya simpulan yang diberikan oleh Yusuf Qardlawi (dalam buku Bagaimana Bersikap Terhadap Sunnah) bahwa syafaat ada dengan 2 syarat:

Atas Perkenan Allah
(… Siapakah yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya? Al Baqarah/2:255)

Orang yang Bertauhid
(Dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah. Al Anbiya/21:28)

Syafaat pada hari akhirat memang ada, namun tidak secara otomatis seseorang akan mendapatkannya dan tidak setiap orang diberi izin untuk memberi syafaat. Oleh sebab itu jika kita berharap untuk memperoleh syafaat, maka posisikan diri kita pada posisi yang diridhai Allah swt!

Permalink 1 Komentar

DAKWAH MUSA

Juli 12, 2007 at 8:47 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)


Apa yang diminta oleh nabi Musa as, ketika dia diperintahkan untuk berdakwah kepada Firaun? Dalam bentuk apa pertolongan Allah kepada para dai di dunia?

Seseorang dapat memberikan sesuatu karena dia mempunyai sesuatu itu. Hal yang sama terjadi pada seorang dai; jika dia ingin memperbaiki kehidupan ke arah yang lebih islami, maka dia harus sudah terbiasa dengan kehidupan islmi itu. Kebiasaan hidup dengan nilai-nilai islami merupakan salah satu bekal yang harus dimiliki oleh seorang dai, selain itu masih ada bekal-bekal lain yang harus disiapkan untuk menjadi dai.

Ketika Allah memerintahkan Musa as agar berdakwah kepada Fir’aun, Musa as meminta kepada Allah swt sebagaimana tersebut dalam surat Thaha/20: 24- 32,”Pergilah kepada Fir’aun,’Sesungguhnya dia melampaui batas’. Musa berkata (berdoa),’Hai Tuhanku, lapangkanlah bagiku dadaku, dan mudahkanlah bagiku pekerjaanku, dan bukakanlah ikatan dari lidahku, agar mereka memahami ucapanku dalam urusanku Jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, harun, saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku ’. Apa yang diminta oleh Musa as di atas dapat merupakan bekal yang perlu dimiliki oleh dai dan dapat juga menjadi sesuatu yang diperoleh ketika proses dakwah sedang berlangsung.

Berdasar permintaan Musa as di atas, bisa kita lihat bahwa pertolongan Allah swt dapat berwujud:

Lapang Dada
Dalam perjalanan dakwah pasti akan menemui hambatan dan tantangan, kelapangan dada merupakan bekal penting bagi dai agar dalam menjalankan dakwah selalu dalam keadaan emosi yang stabil dan tidak kehilangan kendali diri. Ketika Rasulullah saw sempat lama tidak menerima wahyu, muncul ketidaknyamanan –kesempitan dada- pada Beliau, kemudian turunlah surat yang dapat melapangkan dada Beliau yaitu surat Ad Dhuha/93 dan Al Insyirah/94.

Kelapangan dada kita dalam berislam sudah merupakan sebuah karunia, apalagi jika kelapangan dada itu terjadi dalam aktivitas dakwah kita. Sebalik kesempitan (kesesakan) dada dalam berislam merupakan suatu mushibah, begitu juga jika terjadi kesesakan dada dalam aktivitas dakwah. Maka barangsiapa yang dikehendaki Allah memberi petunjuk kepadanya niscaya Dia melapangkan dadanya untuk menerima Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki (Allah) menyesatkannya niscaya Dia jadikan dadanya sempit lagi sesak seolah-olah dia mendaki ke langit. Demikianlah Allah menjadikan kotoran atas orang-orang yang tidak beriman (Al An’am/6:125)

Uqdatul Lisan
Uqdatul lisan biasanya diartikan dengan gagab atau cadel, tetapi makna ini dapat diperluas dengan: ghibah, mengumpat, mencari kesalahan orang, dan bersikap tidak pantas dalam melakukan dakwah. Uqdatul lisan ini bisa menjauh ketika kita aktif dalam dakwah, karena kondisi akan mengarahkan kita untuk tidak masuk dalam kebiasaan ghibah dan sejenisnya.

Munculnya Penolong Dakwah
Dalam proses komunikasi, secara tidak langsung terjadi proses saling mempengaruhi. Artinya kita yang terpengaruh orang lain atau orang lain yang terpengaruh oleh kita. Munculnya penolong dakwah (rijaluddakwah) bisa karena proses komunikasi, dapat juga karena sesuatu yang diluar skenario rencana kita. Oleh sebab itu seorang dai tidak boleh berputus asa dengan posisi kesendirian dalam waktu tertentu, sebab rijaluddakwah itu akan datang mungkin dengan tiada terduga.

Jika kita melibatkan diri dalam dakwah, maka yakinlah bahwa pertolongan Allah pasti datang. Jika kita menjauh dari dakwah, maka akan datang orang lain yang terjun mengurusi dakwah ini. Apakah tidak sebaiknya kita memilih aktif dalam dunia dakwah? Karena apapun yang terjadi dakwah pasti berjalan!

Permalink 1 Komentar

MUWALAT (WALIY)

Juli 4, 2007 at 10:09 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Hikmah, Renungan, Tafsir Al Quran)

Bolehkah seorang muslim menjadikan orang non muslim menjadi walinya? Adakah kondisi yang membolehkan terjadinya perwalian kepada orang non muslim?

Muwalat artinya menjadikan seseorang sebagai wali (pemimpin/penolong). Ketika seorang muslim menjadi wali bagi muslim lainnya merupakan sesuatu yang seharusnya terjadi, namun jika seorang muslim menjadikan orang nonmuslim menjadi walinya, akan didapati penjelasan-penjelasan yang melarangnya. Beberapa peristiwa berikut memperkuat ketidakbolehan menjadikan orang nonmuslim menjadi wali:

Surat Ali Imran/3:28
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab) diluar orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian maka tiada baginya sesuatu (pertolongan) dari Allah, kecuali kamu menjaga diri dari mereka sesuatu yang ditakuti.

Berkait dengan turunnya ayat di atas IbnuAbbas meriwayatkan bahwa saat Rasulullah saw keluar pada perang Ahzab, Ubadah bin Shamit mengatakan bahwa ia mempunyai 500 orang teman Yahudi dan mengusulkan kepada Nabi untuk mengajak mereka menghadapi musuh bersama supaya dapat mengalahkan mereka, lalu Allah menurunkan ayat tersebut.

Surat Al Maidah/5:51
Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu menjadikan orang-orang yahudi dan orang-orang nashrani sebagai wali (kawan setia), sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain. Barang siapa menjadikan mereka sebagai wali, maka ia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk orang-orang yang dlalim

Berkait dengan ayat diatas, Imam Baihaqi meriwayatkan bahwa ada 2 orang yang telah mengadakan perjanjian setia dengan Bani Qainuqa’ yaitu Abdullah bin Ubay bin Salul dan Ubadah bin shamit. Pada saat Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay tetap memegang teguh perjanjiannya dengan Bani Qainuqa’ sedangkan Ubadah bin shamit melepaskan perjanjian itu dan menyatakan kesetiaannya kepada Rasulullah saw, lalu turunlah ayat tersebut.

Hadits Riwayat Muslim
Ada seorang laki-laki yang terkenal pemberani dan suka menolong menemui Rasulullah saw dan berkata,’Saya datang untuk ikut Anda dan memperoleh harta (rampasan bersama) Anda’. Rasulullah saw berkata,’Apakah kamu mempercayai Allah dan RasulNya? Dia menjawab,’Tidak’. Rasulullah saw menjawab,’Kembalilah, saya tidak akan meminta pertolongan kepada orang musyrik’. Peristiwa ini terjadi sampai tiga kali, Rasulullah tetap memberikan jawaban yang sama dan terkhir orang itu menyatakan keberimanannya kepada Allah dan RasulNya barulah Beliau mengijinkan untuk mengikuti perang bersamanya.

Beberapa kejadian di atas jelas mentidakbolehkan menjadikan orang non muslim sebagai wali (penolong), namun pada situasi yang berbeda ada peristiwa yang membolehkan kita menjadikan orang non muslim sebagai wali (penolong).

Walaupun ada peristiwa yang menunjukkan bolehnya kita meminta tolong kepada orang-orang non muslim, namun hendaknya dilakukan dengan pertimbangan yang matang, yang dipastikan tidak akan membahayakan aqidah kita. Sebab ketika kita minta tolong kepada seseorang akan ada perasaan berhutang budi kepadanya, oleh sebab itu lebih dekatlah dengan orang muslim!

Dimuat Buletin Jum’at Hanif, pekan ke-2 September 2005

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

IKHTILAF

Juli 4, 2007 at 9:44 pm (Akhlak, Dakwah, Fiqh, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)


Bagaimana sahabat menghadapi perbedaan pendapat yang terjadi diantara mereka? Apa pelajaran yang bisa diambil dari perbedaan pendapat sahabat Rasulullah saw?

Perbedaan pendapat diantara para sahabat sudah terjadi sejak pada masa Rasulullah saw, perbedaan pendapat ini terjadi pula pada masa khalifah Abu Bakar ra. Berikut ini beberapa perbedaan diantara dua sahabat:

Abu Bakar dan Umar

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui(At Taubah/9:103)

Sepeninggal Rasulullah ada sebagian ummat Islam yang enggan untuk mengeluarkan zakat, kepada mereka yang enggan mengeluarkan zakat ini terjadi perbedaan pendapat antara Abu Bakar dengan Umar mensikapinya. Abu Bakar menghendaki sikap yang tegas atas mereka, sementara Umar menghendaki cara yang lemah lembut.

  • Abu Bakar, ’Demi Allah sekiranya mereka tidak mau menyerahkan kepadaku sekalipun hanya seekor anak kambing, tentu akan aku perangi mereka’
  • Umar, ’Bagaimana Engkau memerangi mereka padahal Rasulullah saw telah bersabda,’Saya diperintahkan untuk memerangi manusia, hingga mereka mengucapkan lailaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkannya maka terpeliharalah dariku jiwa dan hartanya, kecuali dengan haq, dan cukup perhitungannya kita serahkan kepada Allah’
  • Abu Bakar,’ Sesungguhnya zakat adalah hak harta dan untuk itu kita berhak memerangi kaum murtad’ selanjutnya berseru kepada Umar,’Saya senantiasa mengharapkan bantuanmu, mengapa justeru engkau menentang dan enggan membantuku? Apakah Engkau hanya perkasa di jaman jahiliyah saja dan menjadi pengecut di jaman Islam?
  • Umar,’ Saya memahami bahwa Allah telah membuka dada Abu Bakar untuk berperang sehingga sadarlah saya bahwa dia itu benar’

Umar dan Abdullah bin Mas’ud

Perbedaan antara Umar dengan Abdullah bin Mas’ud relatif banyak, salah satu diantaranya tentang perkataan seorang suami kepada isterinya ,’Kamu haram bagiku’. Abdullah bin Mas’ud mangkategorikan kalimat itu sebagai sumpah, sementara Umar mengaktegorikan jatuhnya talak satu si suami kepada isterinya. Walaupun mereka sering berbeda pendapat, namun mereka saling menghargai.

Suatu saat Abdullah bin Mas’ud berkata tentang Umar,’Sekiranya ilmu Umar diletakkan pada salah satu daun timbangan dan ilmu manusia seluruhnya pada daun timbangan lainnya, masih lebih berat ilmu umar’. Pada suatu saat ketika umar melihat Abdullah bin Abbas dari kejauhan, Umar berkata,’Sungguh ia terpelihara oleh kefaqihan dan ilmunya’

Berbeda dalam pemahaman memang sangat dimungkinkan terjadi, tetapi pada tataran aplikasi salah satu dari pemahaman itu harus ditegakkan. Pemahaman itu dipilih yang paling sesuai dengan syariat, selanjutnya disepakati oleh jumhur ulama. Sahabat telah memberikan contoh yang baik ketika berbeda pendapat, bukankah kita juga bisa meneladaninya?

Dimuat Buletin Jum’at Hanif, pekan ke-4 Oktober 2005

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

Next page »