HAWARIY

Juli 12, 2007 at 9:27 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)

Apa arti al Hawariyyun? Apa jawaban Al Hawariyyun ketika diajak untuk membela agama Allah? Bagaimanakah aktivitas mereka?

Hawary berarti pembela atau pengikut setia. Kata hawary tidak ditemui dalam Al Qur’an, tetapi bentuk jamaknya Al Hawariyyun disebut sebanyak 3 kali, yaitu dalam surat Ali Imran/3:52, Al Maidah/5:112, dan Ash-Shaf/61:14 . Al Hawariyyin disebut sebanyak 2 kali, yaitu dalam surat Al Maidah/5:111 dan Ash-Shaf/61:14.

Berikut ini penggunaan kata Al Hawariyyun/Al Hawariyyin dalam Al Qur’an:

Ali Imran/3 :52
Maka tatkala ‘Isa mengetahui keingkaran mereka berkatalah dia,’Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah? Al Hawariyyun menjawab,’Kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah ; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri’.

Dari ayat di atas dapat dilihat kesetiaan dan kesiapan al hawariyyun untuk menjadi penolong-penolong agama Allah. Pertolongan dalam pembelaan agama Allah diberikan bukan hanya ketika pembawa risalah kenaran berada dalam keadaan senang, tetapi juga ketika pembawa kebenaran itu berada dalam keadaan yang terdesak oleh musuh-musuhnya.

Al Maidah/5:111
Dan (ingtlah) ketika awhaiytu (Aku wahyukan/ilhamkan) kepada Al Hawariyyin,’Berimanlah kamu kepada-Ku dan kepada rasul-Ku’. Mereka menjawab,’Kami telah beriman dan saksikanlah (wahai rasul) bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)’.

Adanya penggunaan kata awhaiytu (Aku ilhamkan) memungkinkan al hawariyyun mempunyai pengetahuan yang diperoleh secara instuitif. Artinya tanpa proses belajar sebagaimana yang dialami manusia pada umumnya.

Al Maidah/5:112 – 113
Ingatlah ketika Al Hawariyyun berkata,’Hai ‘Isa putera Maryam, bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?’. Isa menjawab,’Bertakwalah kepada Allah jika betul-betul kamu orang yang bersyukur’. Mereka berkata,’Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami (tathmainna qulubuna) dan supaya kami mengetahui bahwa kamu berkata benar kepada kami dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan (hidangan) itu’

Pada ayat di atas terdapat kata tathmainna qulubuna yang berarti agar hati kami menjadi tenang. Kalimat yang relatif sama juga digunakan oleh nabi Ibrahim ketika nabi Ibrahim ingin mengetahui,’Bagaimana Allah menghidupkan sesuatu yang mati?’ Lalu Allah bertanya,’Apakah kamu tidak percaya?’. Ibrahim menjawab,’Sekali-kali tidak, akan tetapi liyathmainna qalby (agar hati kami menjadi tenang)’(Kisah lengkap peristiwa ini terdapat dalam surat Al Baqarah/2: 261). Melalui dua kejadian (Al Hawariyyun dan nabi Ibrahim) sangat tepat kiranya jika setiap pengikut setia kebenaran merasakan sesuatu yang menyebabkannya liyathmainna qalby sebagai bekal untuk menjadi pembela kebenaran. Hal ini akan diperoleh jika seseorang mengalami secara langsung (pengalaman keagamaan) bukan hanya sekedar sebuah informasi. Sebagai contoh jika Anda seorang yang suka berinfak, pastikanlah bahwa Anda merasakan kenyamanan dalam berinfak.

Tampaknya sudah menjadi sunnah Allah bahwa dalam sebuah perjuangan penegakan kebenaran selalu diperlukan adanya al hawariyyun. Ketika Rasulullah saw terjepit mengembangkan dakwahnya di Makkah Beliau berkata,’Adakah orang yang akan menolongku sehingga aku dapat menyampaikan risalah Tuhanku karena orang Quraisy telah menghalangi jalanku untuk menyampaikan risalah Tuhanku’(lihat tafsir Ibn Katsir). Pernyataan rasulullah ini ternyata terealisasi dengan bergabungnya suku ‘Aus dan Khazraj dalam pangkuan Islam. Kemudian mereka yang menolong Rasulullah pada peristiwa hijrah disebut sebagai kaum Anshar. Sebagai sosok pembawa risalah dakwah, rasulullah saw pernah mengungkapkan hawarynya,’Setiap rasul itu mempunyai hawary dan hawaryku adalah Zubair bin Awwam”(salah satu dari 10 orang yang dijamin penghuni surga)


Tampaknya sudah menjadi sunnah Allah bahwa dalam sebuah perjuangan penegakan kebenaran selalu diperlukan adanya al hawariyyun !


Permalink 2 Komentar

MUNKAR

Juli 12, 2007 at 9:17 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Tafsir Al Quran)

Apa yang dimaksud dengan munkar? Perbuatan apa saja yang tergolong tindakan munkar? Bagaimana strategi menghadapi kemungkaran?

Munkar secara bahasa berarti sesuatu yang tidak dikenal. Arti secara bahasa ini digunakan Al Qur’an dalam surat Adz Dzariyat/51:25’(ingatlah) ketika merekamalaikat—masuk ke tempatnya – Ibrahim – lalu mengucapkan Salaamun. Ibrahim menjawab,’Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal’

Kata munkar disebut Al Qur’an tidak kurang dari 18 kali, beberapa diantaranya; Ali Imran/3:104, Al Maidah/5:79 dan Al A’raf/7:157. Munkar merupakan lawan dari kata ma’ruf. Jika ma’ruf merupakan sesuatu yang dikenal kebaikannya, munkar merupakan sesuatu yang dikenal kejelekannya.

Munkar tidak hanya berupa perbuatan atau tindakan, tetapi bisa juga berupa perkataan. Setiap perkataan yang menjauhkan diri dari Allah swt adalah perkataan munkar. Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun (Al Mujadalah/58:2)

Beberapa contoh perbuatan munkar:

Homoseks atau lesbian
Salah satu masalah yang dihadapi nabi Luth adalah merajalelanya homoseks (lesbian) di masyarakatnya. Sehingga beliau berkata kepada kaumnya ”Apakah sesungguhnya kamu patut mendatangi laki-laki,menyamun, dan mengerjakan kemunkaran ditempat-tempat pertemuan itu?”(Al-Ankabut/29:29)

Berzina
Berzina,yakni melakukan persetubuhan diluar nikah-apalagi memperkosa-adalah perbuatan munkar. Menurut Al-Quran, ketika Maryam sudah menggendong bayi (putranya,Isa putra Maryam)- padahal menurut kaumnya, Maryam tidak punya suami, maka kaumnya menuduh Maryam telah berbuat inkar(zina): ”Hai Maryam,sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat munkar(fariyya)”(Maryam 19/27).

Membunuh
Sebelum Musa as. mengikuti Khidr, sudah diberi syarat oleh Khidr agar Musa tidak mempertanyakan apa yang dilakukan Khidr sebelum diberi penjelasan. Ketika Khidr membocorkan perahu,Musa tidak sabar dan mempertanyakan alasan pembocoran itu kepada Khidr. Begitu juga ketika Khidr membunuh seorang pemuda, Musa berkata,”Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan perbuatan yang munkar(nukra)”(Al-Kahfi/18:74)

Kemunkaran ditandai dengan adanya sikap ”melewati batas”, sebagaimana pernah dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani (Al ankabut/29:45). Kemunkaran itu merugikan orang lain dan diri sendiri. Hati nurani manusia bisa merasakan keberadaan sesuatu yang munkar. Pelaku kemunkaran tidak akan merasakan ketentraman dan ketenangan, karena itu bertentangan dengan nurani dan fitrah manusia. Maka, ”tanyakanlah pada hati nurani !”

Allah memberi resep agar manusia tercegah dari kemunkaran,”Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan munkar”(Al ankabut/29:45). Hanya saja saat ini banyak dijumpai orang yang melakukan gerakan shalat tapi sekaligus pelaku kemunkaran. Hal ini sebuah isyarat bahwa mutu shalatnya belum sesuai standar yang diinginkan Allah swt. Strategi dalam menyikapi kemunkaran yang diberikan oleh Rasulullah saw adalah: ”Barangsiapa diantara kalian melihat kemunkaran,ubahlah dengan tanganmu; jika tidak mampu, ubahlah dengan lisanmu; dan jika tidak mampu, ubahlah dengan hatimu; yang sedemikian itu adalah selemah-lemahnya iman.”

Kemunkaran yang dilakukan oleh pribadi-pribadi, bisa dihentikan dengan kekuatan individual. Tetapi kemunkaran yang tersistimatisasi, hanya efektif dihentikan oleh kebijakan-kebijakan politis(kekuasaan). Anda bisa menghentikan beberapa orang yang minum minuman keras, tetapi nyaris suatu kemustahilan menghentikan produksi minuman keras jika tidak ada kebijakan politis yang berupa pelarangan produksi dan pengedaran minuman keras di Masyarakat.

Mencegah kemunkaran merupakan kewajiban setiap muslim. Untuk melaksanakan pencegahan kemunkaran -baik yang individual maupun yang tersisitimatisasi- membutuhkan ”kekuatan”. Mengubah kemunkaran dengan hati – doa atau ”mbatin”- adalah selemah-lemah iman. Sedangkan memberi restu dan menyetujui terlaksananya kemunkaran, silakan pertanyakan adakah keimanan dihati orang yang menyetujuinya?

 

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

NIKMAH

Juli 12, 2007 at 9:09 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Tafsir Al Quran)


Apakah nikmah itu? Siapa yang dimaksud dengan orang yang diberi nikmah yang jalan hidupnya selalu diminta dalam setiap shalat?

Secara bahasa nikmah artinya karunia atau anugerah. Kata nikmah ditemui tidak kurang dari 34 kali dalam Al Qur’an, beberapa diantaranya: Al Baqarah/2:211, Ali Imran/3: 103, dan Al Maidah/5:7. Pengertian tentang nikmah perlu dipahami secara benar karena setiap kali membaca al Fatihah dalam shalat seseorang meminta jalan yang lurus. Dan yang dimaksud dengan jalan yang lurus adalah jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmah, bukannya jalan orang-orang yang dimurkai-Nya dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat (lihat surat al Fatihah/1:6 – 7)

Berikut beberapa konteks penggunaan kata nikmah dalam Al Qur’an:

An Nisa/4:69
‘Dan barang siapa yang mentatai Allah dan Rasul Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberi nikmah oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya’

Al Maidah/5: 23
‘Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberikan nikmah atas keduanya,’Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah lah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman’

Ketika Musa as menyerukan kaumnya untuk memasuki Palestina, kaumnya merasa keberatan karena di Palestina ada orang yang gagah perkasa, pada saat itu tampillah dua orang yang telah diberi nikmah oleh Allah tersebut.

Maryam/19:58
‘Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmah oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis’

Al Ahzab/33:37
‘Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang-orang yang telah Allah beri nikmah dan kamu (juga) telah memberi nikmah kepadanya,’Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah’..” Yang disebut telah diberi nikmah dalam ayat ini adalah Zaid bin haritsah. Penyebutan diberi nikmah itu karena Zaid telah mendapat hidayah, seorang muslim, dan menjadi pengikut nabi Muhammad saw (lihat tafsir Ibnu Katsir)

Dari beberapa penjelasan tentang orang yang diberi nikmah oleh ALlah di atas bisa dilihat bahwa nikmah itu tidak identik dengan kenyamanan-kenyamanan duniawi. Sebab ketika melihat kehidupan para nabi, tidak semua mereka hidup dalam keadaan kaya atau menjadi penguasa, hal yang sama juga terjadi pada kehidupan para syuhada. Salah satu contoh tokoh syuhada’ Hamzah misalnya, pada saat wafatnya – waktu peperangan uhud- dadanya dibelah dan hatinya dimakan oleh Hindun. Suatu keadaan kematian yaang secara fisik dilihat kurang menyenangkan, namun Allah swt mengkategorikannya sebagai orang-orang yang Allah telah beri nikmah. Jadi dapat kiranya disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan orang telah diberi nikamah itu adalah orang yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap kebenaran dan upaya penegakannya.

Ketika meminta kepada Allah agar ditunjuki jalan orang-orang yang telah Allah beri nikmah, berarti kita telah meminta jalan kehidupan para nabi, para syuhada, para shiddiqin dan orang-orang yang shalih. Mari kita sadari apa yang kita minta kepada Allah, dan kita upayakan mewujudkannya. Ya Allah tunjuki kami jalan para nabi, syuhada, shiddiqin, dan orang-orang shalih!

Permalink 6 Komentar

WALIMAH

Juli 12, 2007 at 9:04 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)

 

Apa yang sebaiknya dilakukan pada saat walimah? Siapa yang sebaiknya diundang untuk menghadiri walimah?

Kata walimah sudah cukup popular di masyarakat, walimah merupakan perayaan yang dilakukan pada momen-momen tertentu. Walimah yang dimaksud disini adalah walimah yang dilakukan oleh pengantin setelah melakukan akad nikah. Para ulama memasukkan walimah sebagai suatu yang wajib, hal ini didasarkan atas hadits berikut ini. Tatkala telah selesai meminang Aisyah, Rasulullah saw bersabda,’Untuk satu pengantin (dalam riwayat lain disebutkan sepasang pengantin) harus diadakan walimah’(lihat hadits riwayat Ahmad dan Thabrani)

Pernikahan sebagai momentum yang sacral berkecenderungan dilakukan secara berlebih-lebihan. Berikut ini beberapa penjelasan tentang walimah pada masa rasulullah saw, yang dapat dijadikan panduan dalam melakukan walimah:

Dilaksanakan setelah akad nikah
Diriwayatkan Anas, ia berkata,’Tatkala Rasulullah saw menikahi seorang perempuan, Beliau mengutus saya untuk mengundang orang-orang makan’ (lihat hadits riwayat Bukhari dan Baihaqi). Tentang berapa lama walimah itu dilakukan, Rasulullah saw pernah melakukannya selama tiga hari,’Tatkala Nabi saw menikahi Shafiyyah, Beliau menjadikan pembebasan dirinya sebagai mahar. Beliau mengadakan walimah selama tiga hari’(HR. Abu Ya’la)

Hendaknya mengundang orang-orang shalih (baik miskin ataupun kaya)
Rasulullah saw pernah bersabda,’Bersahabatlah dengan orang-orang mukmin, dan usahakanlah makananmu hanya dimakan oleh orang-orang yang bertakwa’ (HR. Abu Dawud). Hadits ini memberi penjelasan bagaimana seharusnya seorang mukmin dengan mukmin lainnya.

Ada perayaan walau hanya seekor kambing
Tatkala Abdurrahman bin auf hijrah ke Madinah, Rasulullah saw mempersaudarakannya dengan Sa’ad bin Ar Rabi’ Al Anshari (Saad mengajak Abdurrahman kerumahnya, Saad menyuguhkan makanan lalu keduanyapun makan bersama) Saad berkata,’Wahai saudaraku, saya adalah penduduk Madinah yang paling kaya. Silakan tengok harta-hartaku, lalu ambillah sepruhnya. Aku juga mempunyai dua isteri (sedangkan engkau adalah saudaraku karenaAllah dan engkau belum punya isteri). Siapa diantara keduanya menarik hatimu (katakanlah kepadaku), yang telah engkau pilih itu akan aku cerai, (lalu bila ‘iddahnya sudah selesai silakan engkau nikahi). Abdurrahman menjawab,’(tidak usah begitu, demi Allah) semoga Allah memberkahi isteri dan hartamu. Tunjukkan saja kepadaku pasar’.

Merekapun menunjukkan pasar, lalu Abdurrahman pergi ke pasar. Di sana dia melakukan jual-beli dan mendapatkan keuntungan (selanjutnya dia pergi secara rutin ke pasar). Kadang-kadang dia membawa sedikit keju dan minyak samin (dari sisa dagangannya untuk keluarganya). Hal itu berlangsung lama sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Suatu ketika datang Rasulullah saw dengan pakaian yang penuh dengan noda-noda minyak wangi ja’faran, Rasulullah saw bertanya kepadanya,’Ada apa denganmu?. Abdurrahman menjawab,’Wahai Rasulullah saw, saya telah menikah dengan wanita (Anshar)’ Beliau bertanya,’Apa maskawinnya?’. Dia menjawab,’Emas satu nawat’. Beliau bersabda,’Semoga Allah memberkahi pernikahanmu. Adakanlah walimah meskipun hanya dengan seekor kambing’ Abdurrahman berkata,’Kiranya saya ingin bisa mengangkat batu yang di bawahnya bisa kutemukan (emas dan perak)’(Lihat hadits riwayat Bukhari)

Dalam hadits yang cukup panjang terdapat banyak pelajaran yang bisa diambil didalamnya. Mulai tentang persaudaraan yang diikat oleh aqidah islamiyah, keutamaan bekerja daripada meminta, kesabaran dalam bekerja, jenis mas kawin dalam pernikahan, dan walimah dalam suatu pernikahan. Saat ini walimah sudah menjadi sesuatu yang biasa dilaksanakan dalam masyarakat, namun didalam pelaksanaannya terdapat banyak pelanggaran norma-norma agama. Pelanggaran dimulai dari tampilnya musik-musik hiburan yang melalaikan dari mengingat Allah, makan sambil berdiri, kemubadziran hidangan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Walimah harus kita lakukan dan norma-norma agama yang lainpun tetap menjadi kewajiban kita untuk menjaganya!

Permalink 1 Komentar

IMAM SHALAT

Juli 12, 2007 at 8:58 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)


Siapakah yang berhak menjadi imam? Apakah makmum mendapatkan dosa jika imam melakukan kesalahan?

Imam (kepemimpinan) di masyarakat menjadi sesuatu yang diperebutkan, para calon pemimpin bersedia mengeluarkan sebagaian hartanya dengan harapan akan terpilih sebagai imam. Keinginan menjadi imam ini akan berkurang, jika mereka melihat beratnya amanah yang harus dipikul seorang imam. Salah satu diantara amanah seorang imam adalah dia akan menjadi teladan dan mengarahkan makmumnya kepada kebaikan sebagaimana dua ayat berikut:

Dan orang-orang yang berkata,’ Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa… (Al Furqan/25:74). Dan Kami jadikan diantara mereka itu imam (pemimpin-pemimpin) yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami … (As Sajdah/ :24)

Miniatur imam (kepemimpinan) dalam masyarakat Islam ada dalam konsep imam dalam shalat berjamaah. Beberapa hadits berikut akan memberikan gambaran tentang siapa yang berhak menjadi Imam dan apa keistimewaan yang akan diperolehnya:

Hadits Abu Mas’ud al Anshari ra bahwa ia menuturkan, Rasulullah saw bersabda,’Yang paling berhak mengimami shalat adalah orang yang paling bagus atau paling banyak hafalan Al Qur’annya. Kalau dalam Al Qur’an kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang sunnah. Kalau dalam sunnah juga sama, dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam berhijrah juga sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam.

Apabila datang waktu shalat, hendaknya salah seorang diantara kalian mengumandangkan adzan dan salah seorang diantara kalian yang paling tua usianya menjadi imam (R. Bukhari)

Dari dua hadits di atas dapat dilihat bahwa prioritas penentuan imam dalam shalat berdasar atas: kebaikan bacaannya, keahlian dibidang hadits, lebih dahulu hijrahnya, lebih dahulu masuk Islamnya, dan usianya. Prioritas ini menjelaskan bahwa orang yang bacaan qur’annya lebih bagus lebih berhak untuk menjadi imam walaupun usianya lebih muda.

Prioritas penentuan Imam di atas perlu mendapat perhatian agar Imam yang ditunjuk tidak sering melakukan kesalahan. Imam yang bacaannya kurang baik (salah) atau kurang faham sunnah, maka berkecenderungan melakukan kesalahan. Dosa karena kesalahan itu akan dipikulnya sendiri dan tidak dipikul makmumnya, sebagaimana hadits berikut: Para imam itu shalat demi kepentingan kalian. Kalau mereka benar, kalian (dan juga mereka) mendapatkan pahala. Tetapi kalau mereka (para imam), kalian tetap mendapatkan pahala sementara mereka mendapatkan dosa (R. Al Bukhari)

Seiring dengan besarnya seorang Imam, Rasulullah saw juga mengistimewakannya dengan cara mendoakannya. Seorang imam (shalat) itu memiliki tanggungjawab. Seorang muadzin itu adalah penjaga amanah. Ya Allah, berikanlah bimbingan kepada para imam tersebut, dan ampunilah dosa-dosa para muadzin itu (R. Abu Dawud) Insyaallah doa Rasulullah saw ini akan terijabahi untuk para Imam yang ikhlash dalam memikul amanah keimaman shalat.

Di kalangan ummat Islam tidak ada perebutan untuk menjadi imam shalat, tetapi masyarakat yang melakukan shalatlah yang menunjuknya menjadi imam. Jika imam shalat tidak diperebutkan, mengapa menjadi imam masyarakat diperebutkan?

Permalink 4 Komentar

IKHTILAF

Juli 4, 2007 at 9:44 pm (Akhlak, Dakwah, Fiqh, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)


Bagaimana sahabat menghadapi perbedaan pendapat yang terjadi diantara mereka? Apa pelajaran yang bisa diambil dari perbedaan pendapat sahabat Rasulullah saw?

Perbedaan pendapat diantara para sahabat sudah terjadi sejak pada masa Rasulullah saw, perbedaan pendapat ini terjadi pula pada masa khalifah Abu Bakar ra. Berikut ini beberapa perbedaan diantara dua sahabat:

Abu Bakar dan Umar

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui(At Taubah/9:103)

Sepeninggal Rasulullah ada sebagian ummat Islam yang enggan untuk mengeluarkan zakat, kepada mereka yang enggan mengeluarkan zakat ini terjadi perbedaan pendapat antara Abu Bakar dengan Umar mensikapinya. Abu Bakar menghendaki sikap yang tegas atas mereka, sementara Umar menghendaki cara yang lemah lembut.

  • Abu Bakar, ’Demi Allah sekiranya mereka tidak mau menyerahkan kepadaku sekalipun hanya seekor anak kambing, tentu akan aku perangi mereka’
  • Umar, ’Bagaimana Engkau memerangi mereka padahal Rasulullah saw telah bersabda,’Saya diperintahkan untuk memerangi manusia, hingga mereka mengucapkan lailaha illallah. Barangsiapa yang mengucapkannya maka terpeliharalah dariku jiwa dan hartanya, kecuali dengan haq, dan cukup perhitungannya kita serahkan kepada Allah’
  • Abu Bakar,’ Sesungguhnya zakat adalah hak harta dan untuk itu kita berhak memerangi kaum murtad’ selanjutnya berseru kepada Umar,’Saya senantiasa mengharapkan bantuanmu, mengapa justeru engkau menentang dan enggan membantuku? Apakah Engkau hanya perkasa di jaman jahiliyah saja dan menjadi pengecut di jaman Islam?
  • Umar,’ Saya memahami bahwa Allah telah membuka dada Abu Bakar untuk berperang sehingga sadarlah saya bahwa dia itu benar’

Umar dan Abdullah bin Mas’ud

Perbedaan antara Umar dengan Abdullah bin Mas’ud relatif banyak, salah satu diantaranya tentang perkataan seorang suami kepada isterinya ,’Kamu haram bagiku’. Abdullah bin Mas’ud mangkategorikan kalimat itu sebagai sumpah, sementara Umar mengaktegorikan jatuhnya talak satu si suami kepada isterinya. Walaupun mereka sering berbeda pendapat, namun mereka saling menghargai.

Suatu saat Abdullah bin Mas’ud berkata tentang Umar,’Sekiranya ilmu Umar diletakkan pada salah satu daun timbangan dan ilmu manusia seluruhnya pada daun timbangan lainnya, masih lebih berat ilmu umar’. Pada suatu saat ketika umar melihat Abdullah bin Abbas dari kejauhan, Umar berkata,’Sungguh ia terpelihara oleh kefaqihan dan ilmunya’

Berbeda dalam pemahaman memang sangat dimungkinkan terjadi, tetapi pada tataran aplikasi salah satu dari pemahaman itu harus ditegakkan. Pemahaman itu dipilih yang paling sesuai dengan syariat, selanjutnya disepakati oleh jumhur ulama. Sahabat telah memberikan contoh yang baik ketika berbeda pendapat, bukankah kita juga bisa meneladaninya?

Dimuat Buletin Jum’at Hanif, pekan ke-4 Oktober 2005

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

DAKWAH

Juni 29, 2007 at 7:05 pm (Dakwah, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)

Kekafiran semakin merajalela di berbagai sisi kehidupan, mungkinkan dakwah ilallah tetap dilakukan?Bagaimana nasib akhir para rasul dalam menghadapi kaumnya?


Sudah menjadi sunnatullah, bahwa penerus kebaikan akan menyerukan kebaikan dan penerus kebatilan akan menyeru kepada kepada kekafiran. Akhir-akhir ini terasa kekafiran tersosialisasi dengan cepat, sehingga tantangan dan hambatan berdakwah semakin terasa lebih berat. Kekuatan orang-orang kafir mendominasi di berbagai dimensi kehidupan, politik, pendidikan, ekonomi dan yang lainnya. Dengan melihat keadaan ini tidak heran jika ada da’I yang merasa lemah dan tak berdaya menghadapi rintangan dan tantangan dakwah dihadapannya.

Namun kaum muslimin (khususnya dai) tidak seharusnya merasa lemah, melihat kekuatan dan tipudaya orang-orang kafir. Sebab pada perjuangan orang-orang terdahulupun kekuatan orang-orang kafir pada awalnya lebih dominan dari orang-orang Islam. ‘Dan apakah mereka tidak melakukan perjalanan di muka bumi ini, lalu memperhatikan akibat orang-orang sebelum mereka. Mereka lebih hebat kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka Allah mengadzab mereka disebabkan dosa-dosa mereka…’(Al Mukmin/40:21-22)


Beberapa kejadian pada para rasul berikut ini, semoga dapat menambah keyakinan para da’I bahwa pertolongan Allah itu pasti terjadi:

Nuh as
Maka mereka mendustakan Nuh, kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam bahtera, dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)(Al A’raf/7:64)

Hud as
Dan tatkala datang adzab Kami, Kami selamatkan Hud dan orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat Kami; dan Kami selamatkan (pula) mereka di akhirat dari adzab yang berat’(Huud/11 :53)

Shalih as
‘… Maka tatkala datang adzab Kami, Kami selamatkan shalih beserta orang-orang yang beriman bersama dia dengan rahmat Kami dan (Kami selamatkan) dari kehinaan di hari itu. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah Yang Maha Kuat lagi Maha Perkasa. Dan satu suara keras yang mengguntur menimpa orang-orang yang zalim itu, lalu mereka mati bergelimpangan di rumahnya’(Hud/11 :66-67)

Luth as
‘Kemudian Kami selamatkan dia (Luth) dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertingga (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang berdosa’(Al A’raf/7:83-84)

Syuaib
“Dan tatkala datang adzab Kami, Kami selamatkan Syuaib dan orang-orang yang beriman bersamanya dengan rahmat Kami, dan orang-orang yang zhalim dibinasakan oleh satu suara yang menggelegar lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya.” ( Huud/11: 94)

Bagaimanapun canggihnya rekayasa orang-orang kafir untuk menghancurkan Islam, tidak selayaknya ummat Islam menyerah dan merasa tak berdaya. Sebab para rasul terdahulu telah membuktikan bahwa kemenangan itu akan diberikan kepada pembela kebenaran yang sungguh-sungguh dalam memperjuangkannya. Lari dari dakwah bukan jawaban untuk menghadapi kekafiran, masuklah (libatkanlah) diri kita dalam gerakan dakwah! Karena kita tidak tahu secara pasti melalui tangan siapa Allah akan membangkitkan ummat Islam ini.

Permalink Tinggalkan sebuah Komentar

FAHISYAH

Juni 29, 2007 at 6:47 pm (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)

Apa arti kata fahisyah? Perbuatan seperti apa yang disebut fahisyah dalam Al Qur’an? Bagaimana caranya agar terhindar dari fahisyah?

Fahisyah artinya keji atau jelek. Kata fahisyah disebut sebanyak 13 kali dalam Al Quran, beberapa diantaranya: Ali Imran/3:135, An Nisa/4:15, dan Al A’raf/7:28, sedangkan bentuk jamaknya (fahsya’) disebut sebanyak 7 kali, diantaranya dalam Al Baqarah/2:169, yusuf/12:24, dan An Nur/24:21.


Berikut ini beberapa perbuatan yang dikategorikan fahisyah dalam Al Quran:

Zina
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu fahisyah dan jalan yang buruk (Al Isra/17:32, baca juga surat an Nisa/4:15 dan 19).

Lesbian/Homosex
Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya), (ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya,’Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu yang belum dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka) bukan kepada wanita, malah kamu ini kaum yang melampaui batas’(Al A’raf/7:80-81, baca juga Al Ankabut?29:28)

Menikahi isteri ayah
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau, sesungguhnya perbuatan itu fahisyah dan seburuk-buruk jalan (An Nisa/4:22)

Selain ketiga perbuatan di atas, para ulama juga memberi arti fahisyah dalam beberapa kejadian berikut:


Perbuatan pidana
Janganlah kamu keluarkan mereka (para isteri yang akan dicerai sementara dalam masa iddah) dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan fahisyah yang nyata… (At Tahalaq/65:1). Hamka memberikan contoh fahisyah yang nyata ini adalah berzina atau memasukkan laki-laki lain (yang tidak disukai suaminya) kedalam rumah atau berhutang tanpa sepengetahuan suami sementara kebutuhan belanja sudah terpenuhi oleh suaminya atau perbuatan lain yang merusak rumah tangga.

Syirik
Dan apabila mereka mengerjakan pekerjaan fahisyah, mereka berkata: kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya. Katakanlah: Sesungguhnya Allah tidak menyuruh mengerjakan fahisyah”(Al A’raf/7:28). Beberapa ulama memberikan contoh perbuatan fahisyah ini adalah thawaf di sekeliling ka’bah dengan bertelanjang atau mengingkari Allah dan menyekutukan Nya (lihat Al Quran dan tafsirnya, Universitas Islam Indonesia)

Syaithan menyeru agar manusia melakukan fahisyah,’Sesungguhnya syaitan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan fahisyah; mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui’(Al Baqarah/2: 169 dan 268, serta An Nur/24:21). Sementara Allah melarang kita melakukan fahisyah,’Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang dari perbuatan fahsya, kemungkaran dan permusuhan… (An Nahl/16:90 baca juga Al Araf/7:28)

Allah telah memberikan resepnya bagaimana caranya agar manusia tercegah dari perbuatan fahsya, ’Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan fahsya’ dan munkar (Al Ankabut/29:45). Jika kita merasa telah melakukan shalat, namun masih melakukan perbuatan fahsya’ berarti shalat kita belum sesuai dengan standar rasulullah saw. Mari tingkatkan kualitas shalat kita!

Permalink 2 Komentar

SYIFA’

Juni 29, 2007 at 10:23 am (Akhlak, Akidah, Dakwah, Fiqh, Ghazwul Fikri, Hikmah, Nabi Muhammad SAW, Renungan, Sejarah, Tafsir Al Quran)

Apa arti kata syifa’? Apa Al Qur’an juga merupakan syifa’? Bagaimana seruan nabi Ayub ketika ditimpa penyakit?

 
Syifa’ berarti obat. Kata syifa’ disebut sebanyak 4 kali dalam Al Qur’an, yaitu dalam surat: Yunus/10:57, An Nahl/16:69, Al Isra/17: 82, dan Fushshilat/41: 44. Secara eksplisit Al Qur’an dikatakan merupakan syifa’, namun terdapat perbedaan di kalangan ulama tentang jenis penyakit yang dapat disembuhkannya. Ada yang mengatakan Al Qur’an hanya syifa’ untuk penyait hati, sementara yang lain mengatakan juga syifa’ untuk jasmani.

 
Berikut ini ayat-ayat yang mengunakan kata syifa’ dengan berbagai konteksnya:

Obat Penyakit dalam Dada
Hai manusia, sesunguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhan-mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang ada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orangorang beriman (Yunus/10:57). Sesuai dengan redaksi ayat ini para ulama bersepakat bahwa Al Qur’an dapat menjadi obat bagi penyakit-penyakit rohani, seperti kemunafikan, kesombongan, dan semacamnya.
 
Berkait dengan penyakit-penyakit yang dirasa ada peran syaithan di dalamnya, nabi Ayyub pernah mengalaminya dan Allah telah memberitahu bagaimana cara mengatasinya. Dan ingatlah hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, ’Sesungguhnya aku diganggu syaithan dengan kepayahan dan siksaan’ Allah berfirman, ’Hantamkanla kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum’(Shad/38:41). Uraian lebih rinci tentang pengobatan ini insyaallah akan disampaikan pada kesempatan lain.
 
Obat Penyakit Jasmani
Dan Kami turunkan dalamAl Qur’an ayat-ayat yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Qur’an tidak menambah bagi orang-orang yang dzalim selain kerugian ( Al Isra’/17:82). Berdasar ayat ini Ibnul Qayyim Al Jauziah mengatakan bahwa Al Quran dapat menjadi syifa’ penyakit rohani maupun jasmani.
 
Berkait dengan penyakit yang bersifat jasmani ini, sebenarnya Al Quran telah menceritakan adanya bahan yang dapat dijadikan obat, sebagaimana ayat berikut: ‘Kemudian makanlah dari tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda  (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan’ (An Nahl/16:69)
 
Secara hakikat, Allahlah yang menyembuhkan penyakit yang diderita seseorang, Sebagaimana yang diungkapan oleh nabi Ibrahim,’… Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) Yang menyembuhkan aku, dan Yang mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)…’(Asy Syuara/26:80-81). Ungkapan yang relatif sama diungkapkan oleh nabi Ayyub ketika berdoa,’…(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang diantara para penyayang’(Al Anbiyak/21:83)
 

Tidak ada perbedaan dari ulama bahwa Al Qur’an adalah syifa’ dari penyakit-penyakit hati. Sudahka kita menjadikan Al Qur’an sebagai obat penyakit hati kita?

 

Permalink 20 Komentar